About

TRI RAHMAH SILVIANI | 15709251035 | PMat A | UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Minggu, 17 Januari 2016

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
MAKALAH

Diajukan kepada Prof. Dr. Marsigit, M. A.
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu





Oleh
Tri Rahmah Silviani
NIM 15709251035

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016


BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat adalah ilmu tentang pola pikir. Mengolah pikir mengenai asal dari sumber-sumber/menurut siapa yang dipikirkan, apa saja pembenarannya, bagaimana logikanya, apa cakupannya, bagaimana tatacaranya, bagaimana etikanya, kapan dan dimananya. Dalam berfilsafat ada tiga aspek yang di pelajari yaitu: ontologi (hakikatnya), epistimologi (pengetahuanya/metodologinya) dan aksiologi (etik dan estestika/kepantasannya) benar atau salahnya serta baik dan buruknya. Jika kita mempelajari salah satu aspek dalam ilmu filsafat maka dengan sendirinya kita mempelajari aspek yag lain, karena ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat mempelajari yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan. Mempelajari filsafat ilmu tidak sama halnya dengan mempelajari matematika yang berupa ilmu pasti, belajar filsafat tidak memerlukan kepastian karena dalam filsafat yang salah itu benar, seperti halnya kita bertanya pada seorang anak Sekolah Dasar tentang ilmu Statistika, dan jika jawaban anak tersebut salah maka anak tersebut menjawab dengan benar karena pada dasarnya dia tidak mengetahui jawaban yang seharusnya, sebab tidak ada atau belum ada pengetahuan tentang ilmu statistika yang dia dapatkan dalam hidupnya. Maka mempelajari filsafat sangat berkaitan erat dengan space and time (ruang dan waktu). Membahas tentang ruang berarti juga membahas tentang waktu karena tidak akan pernah ada ruang jika tidak ada waktu dan begitu pula sebaliknya, tidak akan ada waktu jika tidak ada ruang.
Dalam mempelajari ilmu filsafat, kita sebagai pelajar seharusnya meneguhkan hati dan pikiran kita kepada kepercayaan yang kita anut karena mempelajari filsafat itu dengan logika atau pikiran bukanlah dengan hati. Ada empat struktur atau dimensi dalam kehidupan yang dimulai dari yang terendak menuju ke yang tertinggi yaitu material, formal, normatif dan spiritual. Jadikanlah spiritual (hati) pada tingkat kepercayaanmu yag tertinggi dalam mengolah pikir karena jika tidak kita akan berpikir seperti Auguste Comte yang menyatakan bahwa hidup tidaklah bisa berlandaskan spiritual tetapi haruslah berlandaskan pikiran positif (positivisme). Mempelajari filsafat berarti mampu menembus ruang dan waktu yang ada dan yang mugkin ada. Menembus ruang dan waktu berarti mampu memahami kontradiksi setiap makhluk, maksudnya bahwa kontradiksi merupakan perbedaan  yang dimiliki oleh setiap individu ciptaan Tuhan. Tidak ada satu ciptaan Tuhan yang bersifat identitas dalam dunia ini, bahkan saudara kembar sekalipun memiliki ruang dan waktu yang berbeda dalam hidupnya. Konsep berpikir menurut Immanuel Kant ada dua yaitu prinsip kontrdiksi dan prinsip identitas. Prinsip kontradiksi ini menyatakan bahwa wadah tidak akan pernah sama dengan isinya, misalnya kulit hitam, kulit dianggap sebagai wadah dan hitam dianggap sebagai isi. Selamanya sampai dunia ini berakhir kulit tidak akan pernah sama dengan hitam. Prinsip identitas, didalam ilmu matematika bahwa a sama dengan a itu pasti tetapi didalam ilmu filsafat bahwa a tidak sama dengan a karena a yang pertama lebih dahulu ditulis sebelum a yang kedua maka dalam filsafat sangat memperhatikan atau sangat peduli terhadap ruang dan waktu. Dapat disimpulkan bahwa prinsip identitas hanya ada didalam pikiran orang yang memikirkannya.
Mempelajari filsafat tidaklah semudah yang kita bayangkan, karena bahasa orang awam dengan para filsuf memiliki makna yang berbeda. Bahasa yang digunakan dalam filsafat adalah bahasa analog atau bahasa pengandaian maka makna dalam suatu tulisan para filsuf tidaklah langsung tersurat tetapi tersirat penuh makna. Cara mempelajari filsafat yaitu dengan metode hidup,  metode hidup adalah secara kodrati ciptaan Tuhan, misalnya dari pengalaman hidup. Seharusnya  mempelajari matematika itu dengan metode hidup, belajar tanpa menyadarinya tetapi mampu memahami agar tidak terjadi kegoncangan dalam pikiran. Objek fisafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada, maka hakikat dalam mempelajari filsafat adalah mengadakan yang mungkin ada bagi seseorang yang mempelajarinya. Filsuf besar melakukan perjalanan filsafat yaitu dengan cara mengadakan yang mungkin ada baginya dengan cara membaca, melihat, mendengarkan serta merefleksikan pengalaman agar mampu membangun ilmu pengetahuan baru dan istilah ini dalam filsafat adalah mengolah pikir tentang tesis dan anti tesis untuk menghasilkan sintesis atau pengetahuan baru.
Berbicara tentang pendidikan matematika berarti berbicara tentang pendidik, peserta didik, kurikulum, perangkat pembelajaran, metode, pendekatan didalam proses pembelajaran. Relevansi filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan matematika bahwa filsafat ibarat gerbong kereta dan pendidik bukanlah sebagai penumpang kereta tetapi menjadi penumpang pesawat yang mampu mengamati laju kereta, bagian-bagian dari kereta dan seluruh item yang terdapat didalam kereta. Maka ilmu filsafat membantu pendidik untuk memahami karakter-karakter peserta didik, memahami metode dan pendekatan apa yang bersifat etik dan estetika dalam proses pembelajaran. Tidaklah ada suatu metode atau pendekatan yang tepat bagi suatu pembelajaran karena jika pendidik memahami bahwa pembelajaran matematika menggunakan metode hidup. Didalam filsafat dan spiritual diketahui bahwa manusia itu bersifat relative karena itu kodrat manusia yang ditetapkan Tuhan. Tidaklah ada manusia yang sempurna, manusia hanya mampu menggapai kesempurnaan hidup lewat usaha atau ikhtiar. Usaha dan do’a didalam filsafat berhubungan erat dengan fatal dan vital, vital bermakna hanya berusaha tanpa adanya do’a dan fatal hanya berdo’a tanpa adanya ikhtiar atau usaha. Jadi dalam melaksanakan atau menjalani kehidupan maka berusaha dan berdoalah maka sebenar-benarnya hidup adalah interaksi antara do’a dan ikhtiar.
Sifat yang tidak boleh digunakan oleh pendidik dalam pembelajaran adalah sifat determinisme atau mereduksi sifat peserta didik. Sifat determinis yaitu menghilangkan sifat orang lain atau mereduksi sifat orang lain dengan mendominasi sifat dirinya sendiri dalam sutau kondisi. Pendidikan matematika mengharapkan bahwa pendidik memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk membangun dunia mereka sendiri. Pendidik seharusnya mampu memahami bahwa paradigma pembelajaran era kontemporer bahwa peserta didik diberikan suatu kesempatan untuk membangun dunianya yang dimulai dari bertanya. Seperti yang dilakukan oleh Rene Descartes.
Rene Descartes mempunyai pengalaman bermimpi, dia tidak bisa membedakan mimpi dan bukan mimpi. Dunia mimpi dan dunia nyata yang ia alami tidak memiliki perbedaan yang mampu memberikan penjelasan bahwa dia sedang dialam mimpi atau nyata karena dia merasa keduanya hampir sama. Dari kejadian itu maka dia mencari kepastian, dan pertanyaan yang timbul adalah, “apakah sekarang aku sedang dialam nyata atau dialam mimpi?, maka satu-satunya kepastian yang pasti  yang tidak bisa dibantah ole Rene Descartes adalah “aku sedang bertanya” atau “aku sedang memikirkannya”. Kesimpulannya Rene Descartes sebenarnya aku tidak bermimpi tetapi betul-betul ada karena aku memikirkannya. Jadi aku ada karena aku berpikir (cogito ergo sum).
Dari kejadian yang dialami oleh Rene Descartes inilah seyogyanya menjadi rujukan bagi para pendidik untuk memahami bahwa peserta didik bukanlah untuk menerima informasi atau proses transfer of knowledge dan bukan teacher center tetapi lebih kepada student center dimana peserta didik menjadi pusat dari suatu proses pembelajaran sehingga pendidik tidak lagi berada didepan kelas (in front of class) tetapi lebih kepada in my side bagi peserta didik. Peserta didik seyogyanya diberikan kesempatan untuk memulai bertanya tentang materi pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN
Proses belajar mengajar adalah proses dimana peserta didik sebagai objek pendidikan membangun pengetahuan dan ilmu pengetahuan mereka. Membangun pengetahuan dapat dimulai dari yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang mungkin ada mempunyai sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada pula, maksudnya adalah bahwa sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada itu jumlahnya banyak sekali, semiliar pangkat semiliar tak mampu dinukilkan dari yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang mungkin ada merupakan objek pikir, Jika objek pikir ada di dalam pikiran kita, maka masalahnya bagaimana kita mampu menjelaskan objek pikir tersebut kepada orang lain dan jika objek pikir ada di luar pikiran kita, maka bagaimanakah cara kita mengetahuinya. Kita akan mampu membangun ilmu pengetahuan jika mampu menjawab kedua persoalan tersebut maka tugas pendidik adalah memahami objek pikir tersebut agar proses pembelajaran didalam kelas sesuai dengan harapan.
Ada dua sifat yang perlu dipahami oleh pendidik, sifat-sifat itu ialah bersifat tetap dan bersifat berubah. Yang tetap itu ada didalam pikiran manusia dan yang berubah itu ada diluar pikiran manusia. Misalnya saya memiliki pohon mangga, selamanya pohon mangga tersebut akan saya sebut sebagai pohon mangga walaupun bentuknya berubah, ini adalah contoh yang bersifat tetap contoh yang bersifat berubah yaitu pohon mangga yang bersifat tetap itu ternyata berubah jika saya perhatikan dari hari ke hari. Maka dapat disimpulkan bahwa tetap itu hanya ada didalam pikiran manusia dan berubah itu ada diluar pikiran manusia. Didalam ilmu filsafat yang tetap itu tokohnya Permenides dan yang berubah tokohnya Heraklitus. Yang didalam pikiran bersifat absolut/absolutisme atau ideal/idealisme, tokohnya Plato atau filsafatnya platonisme. Yang diluar pikiran bersifat real atau nyata maka adanya filsafat realisme tokohnya Aristoteles atau filsafatnya Aristotelianisme. Yang berubah bersifat relatif disebut dengan filsafat relatifisme, bersifat kontradiksi (I tidak sama dengan I) dan bersifat konkrit sedangkan yang tetap bersifat identitas (I = I). 
Yang bersifat relatif itu berdasarkan persepsi, maksudnya persepsi itu dapat dilihat, dapat diraba atau disentuh atau dapat didengar, kebenarannya bersifat cocok atau korespondensi. Yang bersifat absolut kebenarannya yang penting konsisten, pikiran akan menjadi ilmu jika dia konsisten, mau melakukan apapun tidak masalah, tak bermakna atau tak semiotik sepanjang dia mau memperlihatkan konsistensinya, misalnya matematika murni, apapun soalnya maka akan menuju atau mengarah kepada suatu teorema. Contohnya 2 + 3 = 5, tidak peduli apakah 2 buku + 3 pensil = 5 buku, yang penting tetap konsisten dan bersifat abstrak. Didalam pendidikan matematika sangatlah berpengaruh tentang 2 + 3 = 5, 2 buku + 3 pensil tidak sama dengan 5 buku karena dalam pendidikan matematika sangat memperhatikan realismenya atau kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya filsafat tidak sekedar konkrit dan tidak sekedar abstrak. Konkrit tidak sama dengan real, penjelasannya konkrit itu anti tesis dari abstrak, real itu anti tesis dari absolut atau ideal. Misalnya anti tesis dari hitam adalah putih itu adalah pernyataan yang salah karena anti tesis dari hitam tidak hanya putih tetapi semua yang ada dan yang mungkin ada didunia ini. Yang konkrit bersifat sintetik dan yang abstrak bersifat analitik. Analitik itu mensintesiskan apapun terserah yang penting logis. Analitik berkemistri dengan a priori. Contohnya, seorang dokter bisa mengobati pasiennya lewat radio (komunikasi via telpon, email dan sebagainya), dokter ini tidak perlu melihat pasiennya untuk memberikan resep obat yang harus dimakan pasiennya karena dokter sudah memiliki teori atau konsep yang telah dipelajari tentang penyakit pasiennya maka dokter ini bersifat a priori (paham walaupun tidak melihat), berdasarkan yang telah dipelajari.  Ada tiga perkara dalam sintetik yaitu, adanya saling terhubung, berlaku hukum sebab akibat, dan dunia persepsi (fakta). Akibat dari sintetik adalah a posteriori. A posteriori itu contohnya dokter hewan, dokter hewan baru mengetahui apa penyakit hewannya jika dokter tersebut melihat langsung dan berkomunikasi langsung dengan hewannya karena hewan tidak bisa berkomunikasi jarak jauh dengan manusia kalau tidak disentuh atau dilihat secara real didepan mata (a posteriori).
Analitik a priori melahirkan aliran rasionalisme tokohnya Rene descartes. Sintetik a priori melahirkan empirisisme tokohnya David hume. Disatu sisi ada pihak rasionalisme disisi lain ada pihak empirisisme. Pada akhir abad ke 15 kedua aliran ini saling bersaing, saling menyalahkan satu sama lain.  Rene descartes menyatakan “tiadalah ilmu bila tidak berdasarkan rasio”, sedangkan David hume berkata “tiadalah ilmu jika tidak dibangun diatas pengalaman”. Maka dari pertentangan itu muncullah seorang pemuda yang memiliki pemikiran yang berbeda atas keduanya yang bernama Immanuel kant (1671). Immanuel kant berkata “wahai kaum rasionalisme dan kaum empirisisme ketahuilah bahwa  ilmu itu tidak bisa dibangun atas rasio saja atau pengalaman saja,” (Critic of Pure Reason). Supaya adil maka dari kaum rasionalisme diambil a priori dan dikaum empirisisme diambil sintetiknya maka lahirlah teori sintetik a priori (pikirkanlah pengalamanmu dan terapkanlah sintesismu) oleh Immanuel Kant.
Berdasarkan sintesis dari para filsuf-filsuf ini, merupakan suatu rujukan bagi para pendidik untuk melihat dan memahami sisi pendidikan dari metode hidup yang diterapkan oleh para filsuf. Ada beberapa hal lagi yang harus dipahami oleh para pendidik yaitu harapan seorang peserta didik dalam proses pembelajaran. Adapaun harapan-harapan peserta didik yaitu: peserta didik berharap bahwa pelajaran matematika itu menyenangkan, memberi semangat bagi mereka, dan bermanfaat dalam kehidupannya sehari-hari. Peserta didik juga berharap bahwa pelajaran matematika itu mudah untuk dipelajari, matematika bukanlah momok yang menakutkan bagi peserta didik, jadi bagaimana guru mensetting kelas matematika supaya peserta didik mampu memahami matematika yang abstrak dan bersifat koheren.  Ada harapan pada peserta didik agar pendidik juga menghargai pengetahuan-pengetahuan yang sudah mereka miliki misalnya meminta pengalaman peserta didik dalam kehidupan sehari-hari untuk kemudian dikaitkan dalam pembelajaran matematika.  Peserta didik ingin juga bahwa pelajaran matematika itu mempunyai keindahan atau nilai etik dan estestika, sesuai dengan norma dan nilai agama sehingga mereka berharap bahwa semua yang dilakukan dimulai dengan berdo’a, kemudian timbul pertanyaan, apa hubungannya berdo’a dengan pelajaran matematika? Ketahuilah bahwa do’a merupakan usaha manusia dalam menggapai ridho Tuhan, kita tidak perlu memahami Tuhan dengan pikiran kita karena sejauh apapun manusia mencari Tuhan maka sejauh itupun Tuhan tidak akan memberikan jalan untuk manusia memahamiNya, tengoklah kedalam hatimu maka engkau akan menemukan Tuhan.
Ketahuilah wahai pendidik bahwa peserta didik juga memiliki rasa senang yang harus dipahami oleh pendidik, rasa senang itu tidaklah dipaksakan oleh pendidik misalnya pendidik memaksa peserta didik untuk menyenangi matematika sedangkan cara pendidik mengenalkan pelajaran matematika dengan metode yang salah maka pendidik diharapkan memahami karakter peserta didik agar peserta didik mampu menyenangi matematika dengan penuh keikhlasan.
Peserta didik juga ingin agar pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mempersiapkan psikologisnya dalam mengikuti pelajaran matematika. Apersepsi seyogyanya dimiliki oleh peserta didik, maksudnya bahwa apersepsi bukanlah tugas guru untuk berceramah tetapi galilah pengalaman peserta didik untuk melakukan apersepsi dalam memahami materi yang akan dipelajari, pengalaman atau pemahaman konsep awal bagi peserta didik sangatlah berpengaruh dalam pembelajaran matematika untuk materi berikutnya. Kegiatan aperepsi seyogyanya dilakukan oleh semua anak tanpa terkecuali, biasanya sebagian guru menunjuk peserta didik yang duduk didepan atau peserta didik yang angkat tangan saja yang memberikan pengalaman atau apersepsi sedangkan peserta didik yang duduk paling belakang atau tidak mengankat tangan tidak disuruh untuk melakukan apersepsi. Ketahuilah bahwa pembelajaran matematika itu untuk peserta didik yang berbeda dengan matematika yang berbeda dan untuk nilai yang berbeda pula dalam situasi yang sama.
Pelajaran bagi para pendidik bahwa bersikap adillah kepada semua peserta didikmu, tidak pilih kasih karena jika nilai peserta didik jelek, janganlah diremehkan, tetapi jika nilainya baik maka janganlah terlalu disanjung-sanjung.  Peserta didik juga berharap agar pendidik tidak bersikap otoriter tetapi bersikap demokratislah maksudnya bahwa pendidik janganlah bersifat menggurui karena yang belajar bukanlah guru tetapi peserta didik sehingga yang seharusnya melakukan aktivitas didalam kelas atau yang aktif adalah peserta didik bukanlah guru.
Harapan peserta didik juga bahwa agar pendidik dapat membuat atau menyiapkan LKS, LKS bukanlah sekedar kumpulan soal, melainkan dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk belajar mandiri maupun kelompok. LKS merupakan sarana yang sangat strategis bagi pendidik agar mampu melayani kebutuhan belajar matematika peserta didik yang beraneka ragam kemampuan. Peserta didik berharap agar penilain pendidik terhadap peserta didik bukan hanya pada tes saja tetapi lebih kepada kegiatannya setiap hari. Oleh karena itu pendidik diharapkan menggunakan berbagai variasi metode mengajar, variasi penilaian, variasi pemanfaatan sumber belajar. Pada kegiatan akhir dalam pembelajaran pendidik seyogyanya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari, seperti menulis jurnal.
Pemahaman orang dewasa dan anak muda (pelajar sekolah dasar dan menengah) tentang ilmu matematika itu berbeda. Anak muda belajar dengan cara sintetik a posteriori yaitu dengan realisme dan fakta empiris atau pengalaman, sedangkan orang dewasa itu pembelajarannya bersifat analitik a priori. Begitupula pada matematika murni dan matematika pendidikan, matematika murni itu bersifat analitik a priori, berdasarkan pandangan kaum logicism, formalism dan foundalism bahwa matematika murni itu berdasarkan logika dan rasio. Pembelajaran matematika diharapkan menggunakan sintetik a priori jadi ilmu itu dibangun atas dasar intuisi, pengalaman, rasio, logika dan realita. Pendekatan kontekstual dan kontruktivisme sangat dibutuhkan guna memberikan pemahaman kepada siswa tentang ilmu matematika. Jadi sebagai pendidik janganlah mengajar tentang konseptual tetapi mengajarlah dengan cara kontekstual.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Matematika yang dipelajari pada tingkat sekolah dasar dan menengah seharusnya adalah matematika intuisi. Metode pembelajaran matematika menurut Immanuel Kant adalah sintetik a priori atau dengan mensintesiskan pengalaman dan melakukan sintesis tersebut. Pada dasarnya seseorang memiliki intuisi, intuisi merupakan pengalaman seseorang. Tidaklah mungkin dikatakan pengalaman jika tidak di sintesis oleh rasio (pikiran) maka pembelajaran matematika adalah mempelajari matematika sesuai dengan pengalaman kemudian mensisntesiskan pengalaman tersebut dengan rasio atau logika sehingga menghasilkan sintesisi baru. Maka kaum logicm, foundalism dan rasional seharusnya melebur dengan kaum empirisisme untuk membentuk metode matematika yang berkarakter. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar